Munji Jakfar, S.Pd.I, M.Pd.I.
Pada awal bulan Juni tahun 2013, aku mulai bertugas sebagai pengajar di MAN 3 Kulon Progo yang dulunya bernama MAN 1 Kalibawang. Di sana aku mengajar mata pelajaran Quran Hadis dan Fikih untuk kelas 10, 11 dan 12. Selain sebagai guru aku juga diberi tugas tambahan sebagai wali kelas XI IPS1. Di mana kelas ini adalah kelas yang paling horor bagi guru ketika itu. Kenapa disebut kelas horor? Karena siswa-siswinya nakal-nakal, susah diatur dan paling ramai. Banyak guru yang curhat tentang sulitnya mengajar di kelas tersebut. Di antara keluhan guru adalah ketika guru menerangkan siswa di kelas itu selalu ramai, keluar masuk kelas, ijin ke belakang (MCK) tidak segera kembali, suka ngobrol sendiri dengan teman sebangku, bercanda dengan melempar kertas ke temannya yang lain beda bangku sehingga sering terjadi kegaduhan kelas dan suka bolos. Bahkan tidak jarang guru ngambek tidak mau masuk kelas XI IPS1 karena memang susah diatur dan kurang menghargai guru.
Sebagai wali kelas tentu saya tidak boleh menyerah dengan keadaan dan terus berpikir keras dan mencari celah bagaimana caranya agar anak-anak di XI IPS1 ini bisa berubah menjadi lebih baik. Salah satu cara yang bisa saya lakukan adalah memberikan nasehat dan motivasi bagi mereka di sela-sela jam mengajar di kelas tersebut.
Ada pengalaman menarik dengan salah satu anak didik saya, yang namanya Davin Adi Setiawan. Dari pengamatan saya baik selaku guru dan juga sebagai wali kelas, anak ini beda dengan yang lain. Kalau diterangkan dia selalu memperhatikan dan jika ada tugas mengerjakan soal atau tugas membuat rangkuman materi, dia selalu selesai lebih cepat dari yang lain. Saya pernah bertanya kepada dia setelah selesai salat Zuhur berjamaah di Masjid Jami’ Sultan Agung Kalibawang, saya panggil, dia pun mendekat dan duduk tepat di depanku. Saya bertanya, “Mas Davin, kenapa kamu ini terlihat beda dengan yang lain”. Dia pun menjawab, “Memang apa yang beda pak?” sahutnya. Saya mendekatinya dan menepuk pundaknya, “Lihat teman-temanmu, tidak betah duduk di tempat duduknya dan suka ngobrol di luar materi pelajaran. Ketika saya terangkan kamu selalu memperhatikan dan antusias dalam mengikuti pembelajaran.”
“Oh itu toh pak,”sahutnya secara spontan, “Iya jawabku,” menguatkan apa yang dia katakan. Dia pun mulai menatap wajahku dengan serius, dan berkata, “Pak, saya itu sadar kalau rumah saya itu jauh, saya tinggal di Desa Soronalan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Jarak rumah ke madrasah kurang lebih 60 km, dan kalau ditempuh dengan naik motor sekitar 1 jam-an Pak. Setiap hari saya berangkat dari rumah pukul 05.45 WIB dan sampai madrasah pukul 06.45 WIB. Alhamdulillah saya tidak pernah terlambat sekalipun Pak.”
Kemudian kutepuk pundaknya 2 kali, dia lalu melanjutkan pembicaraannya dengan agak serius walaupun anaknya sangat sumeh, supel, dan periang. “Perjuangan itulah Pak yang saya niatkan untuk mencari ilmu,” saya bisa merasakan suaranya agak berat dan bergetar ketika mengucapkan “mencari ilmu” dan kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Kemudian saya jawab, “Ok, bagus, pertahankan,” sambil saya tepuk pundaknya dua kali dan mengajaknya masuk ke kelas karena masih ada kegiatan belajar mengajar lagi setelah selesai salat Zuhur berjamaah.
Kenangan lain yang belum terlupakan sampai saat ini adalah ketika selesai ulangan (penilaian pembelajaran setiap akhir bab atau pembahasan), biasanya setelah siswa selesai mengerjakan tugas, jawabannya akan dicocokkan atau dinilai secara bersama-sama dengan cara saling menilai milik temannya dan guru memberikan kunci jawaban untuk setiap soal. Dari hasil ulangan yang saya lakukan, nilai anak ini selalu di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan temannya yang lain. kemudian saya panggil dia, “Mas Davin, kenapa nilaimu itu kok (bisa) rendah sekali?” Dia pun menjawab, “Iya pak, tidak pa pa (tidak apa-apa) Pak.” Saya pun menimpali lagi, “Ee kenapa?” Dia pun menjawab, “Pak biar nilai saya jelek, tapi saya jujur pak, saya tidak nyontek dan saya kerjakan sebisa saya Pak. Saya tahu teman-teman itu nilainya bagus-bagus tapi hasil nyontek Pak.” Saya pun terkagum-kagum dengan jawabannya, saya pun kembali bertanya, “Ee kenapa kamu tidak ikut seperti temanmu nyontek?”
Dia pun menjawab, “Tidak mau Pak, saya takut tidak berkah dan saya bangga dengan nilai saya dapatkan walaupun lebih rendah dari yang lain karena hasil saya bukan dari hasil nyontek Pak.” Saya pun kaget dan tersentak mendengar jawaban anak ini. “Ya sudah kalau begitu bagus!” kataku mengakhiri pembicaraanku dengan anak itu.
Setelah kejadian itu berlalu, waktu berjalan dengan cepat dan akhirnya, dia lulus dari MAN 1 Kalibawang pada tahun 2015. Setelah lulus dia mengabarkan kalau dia diterima di Lembaga Pendidikan Asisten Perawat Cipto Bakti Husada Yogyakarta. Setelah lulus pendidikan setahun di lembaga tersebut, kemudian dia diterima bekerja di Rumah Sakit Rajawali Citra Bantul D.I. Yogyakarta sebagai Asisten Paramedis. Dia berkerja di sana selama 1,5 tahun. Setelah itu, dia pindah kerja di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai pembantu pelayanan perawatan.
Kemudian,seiring dengan adanya penurunan wabah Covid-19 pada tahun 2021, rumah sakit tempat dia bekerja melakukan perampingan SDM dan dia termasuk salah satu karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersama 500 karyawan lainnya. Setelah terkena PHK dia pun mengabari tentang kesulitan ekonominya, dia kesulitan mendapatkan pekerjaan untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya ditambah saat itu kondisi isterinya sudah hamil tua. Dia minta nasihat dan doa agar bisa bekerja lagi serta bertanya tentang bagaimana peluang bekerja di sekolah atau dunia pendidikan.
Akhirnya dia mengajukan beberapa lamaran di berbagai sekolah dan madrasah di sekitar tempat tinggalnya. Lamarannya membuahkan hasil dia diterima di MTs Ma’arif Sawangan. Setelah bekerja selama 3 bulan, kemudian dia pindah tugas di MI Ma’arif Sawangan sebagai pengampu mata pelajaran SKI dan Fikih sekaligus sebagai wali kelas untuk kelas 6. Pada saat yang sama dia juga diterima di tiga sekolah negeri di Kecamatan Sawangan yaitu SDN Podosoko 1, SDN Podosoko 4 dan SDN 2 Butuh Kecamatan Sawangan. Semua peluang itu, ia tolak dan tetap memilih mengajar di MI Ma’arif Sawangan sampai bertahan 2 tahun, 2 bulan. Selanjutnya, saat ini dia mengajar di SD Islam Al-Iman Kota Magelang sambil melanjutkan studi S1 PGSD di Universitas Terbuka Yogyakarta yang diantara syaratnya memang harus sudah mengajar atau sudah punya wiyata bakti di sekolah. Dia juga cerita bahwa di UT sekarang ini dia sebagai ketua kelas dan memperoleh nilai terbaik di kelasnya.
Pernah suatu ketika saya bertanya kepadanya, “Mas Davin, apa yang membuatmu terkesan dengan pak Jakfar selama belajar di madrasah?” Dia pun menjawab “Ada Pak, Bapak itu orangnya sabar, tanpa lelah memberikan nasihat dan motivasi agar tidak menjadi anak nakal.” Lalu dia mencoba mengingat sesuatu, kemudian dia mengambil nafas dalam dan berkata, “Ada lagi Pak, waktu itu di masjid setelah selesai salat Zuhur, Pak Munji berkata, Mas Davin kamu pasti sukses. Pesan itu yang sampai saat ini aku ingat terus.” Sebagai guru yang pernah mengajar, sekaligus wali kelasnya, saya merasa terharu dan bangga melihat perkembangannya, ternyata siswa alumni madrasah bisa tampil eksis di masyarakat dan bisa bermanfaat untuk kemajuan umat. Tidak terasa, sudah delapan tahun berlalu, dia lulus dari madrasah, akan tetapi silaturahmi tidak pernah terputus, meskipun secara tanggung jawab formal kedinasan, sudah bukan lagi menjadi tanggung jawab saya sebagai wali kelas.
Berdasarkan pengalaman cerita di atas, dapat diambil ibrah atau pelajaran berharga bahwatanggung jawab seorang guru terhadap anak didiknya tidak terbatas waktu dan tempat, guru hendaknya tidak boleh lelah dalam memberikan motivasi, arahan dan bimbingan kepada anak didiknya, meskipun sudah selesai studinya. Guru hendaknya mampu membangun komunikasi yang baik dengan anak didiknya, karena dengan komunikasi yang baik akan berdampak pada kedekatan emosional. Kedekatan emosional yang baik akan berdampak pada penerimaan yang baik. Kesuksesan siswa dalam karir setelah lulus studinya, sangat ditentukan oleh kemampuan soft skills-nya seperti percaya diri, daya juang (semangat, ulet, sabar, dan pantang menyerah), kemampuan berkomunikasi, serta keyakinan diri akan sukses.