Dra. Sukaya
Pagi itu, kabar duka datang dari bumi Anoa di tengah pandemi covid-19 yang melanda dunia. Adikku mengabarkan bahwa bapak kami telah berpulang. Kabar itu sangat mengagetkan bagiku karena sebelumnya beliau dalam kondisi sehat. Namun, takdir tengah menjalankan perannya, tiada lain hanya bisa mengikhlaskan bapak yang telah pergi mendahului kami. Batinku bergejolak, apakah akan bertandang kesana atau tidak.
Setelah mempertimbangkan bebagai hal akhirnya aku memutuskan untuk terbang ke tempat tinggal orang tuaku, menjelang pemberlakuan lockdown nasional. Dimulai dengan meminta izin kepada kepala madrasah, kemudian disyaratkan membuat permohonan izin ke Polsek sesuai domisili, sebagai syarat untuk bepergian ke luar kota di masa menjelang lockdown. Dilanjutkan dengan mencari tiket pesawat dan ternyata tiket yang tersedia untuk penerbangan esok hari.
Tiket penerbangan telah dipesan untuk aku dan suamiku. Agenda selanjutnya adalah melakukan tes swab antigen sebagai syarat dokumen penerbangan. Kami melakukan swab tes antigen di Rumah Sakit Queen Latifa. Dokumen penerbangan sudah lengkap setelah kami mendapat hasil swab negatif.
Matahari masih nampak malu-malu saat kami berkendara menuju New Yogyakarta International Airport dengan diantar putraku. Penerbangan paling pagi dengan maskapai Lion Air yang mengantarkan kami tiba di tanah tempatku dibesarkan. Nampak adikku sudah menunggu kedatanganku di peron bandara Haluoleo ini. Dengan mengendarai mobil, kami menuju kediaman orang tuaku dengan perasaan yang berkecamuk karena sudah tidak dapat kujumpai lagi jasad bapak yang telah dimakamkan hari kemarin.
Isak tangis tak terelakkan saat bertemu ibu, kakak, adik, serta saudara-saudaraku yang lain. Keikhlasan sudah berusaha aku tanamkan dalam hatiku, namun aura kesedihan masih begitu terasa di rumah ini yang membuat air mata ini begitu mudah menetes. Bagaimana tidak, terakhir berjumpa dengan bapak sekitar satu setengah tahun yang lalu dan sekarang berjumpa lagi telah berada di bawah batu nisan.
Sang surya telah menampakkan sinarnya, diiringi alunan kicauan burung yang terdengar merdu. Udara segar masuk melalui jendela kamar yang aku tempati, entah karena kelelahan atau memang ada virus yang sedang berkembang ditubuhku dan suamiku, kami merasa badan sakit semua, demam, batuk, dan tenggorokan sakit. Bahkan suamiku hanya beranjak dari tempat tidur untuk salat saja. Nafsu makan turun drastis, semua makanan terasa hambar di lidah kami. Aku merasa seperti gejala covid-19, namun di sini tidak semenyeramkan seperti yang selalu kami dengar sewaktu di Jogja. Faktor mobilitas yang tidak tinggi sepertinya cukup memengaruhi persebaran covid-19 di kota ini. Kedua adikku meyakinkan bahwa yang aku alami bukan covid, kami diminta istirahat saja dan akan dipantau oleh adikku yang merupakan seorang perawat.
Empat belas hari telah berlalu, badanku telah terasa sehat seperti sedia kala sejak seminggu yang lalu, namun berbeda dengan suamiku, dia masih merasa lemas dan nafsu makannya belum kembali seperti semula. Anakku berkali-kali menyarankan untuk memeriksakan diri ke dokter, namun aku dan suami masih penuh pertimbangan sehingga belum bersedia periksa ke dokter.
Hari Raya Idul Adha telah tiba, penyembelihan sapi dilakukan di depan rumah yang kami tempati. Kondisi suamiku berangsur-angsur membaik, bertepatan hari raya qurban membuat kondisinya lebih cepat membaik karena asupan protein yang cukup dalam masa pemulihannya. Sebenarnya kami telah merencanakan pulang, namun apalah daya reagen PCR disini habis, dan belum tau kapan akan tersedia lagi, padahal PCR menjadi syarat dokumen penerbangan untuk kami bisa kembali ke kota gudeg.
Seminggu kemudian kabar tidak terduga kembali menyapaku, bahkan fajar belum menyapa, putraku memberikan kabar bahwa dia merasakan nyeri perut yang tidak tertahankan sejak semalam dan dia telah bermalam di IGD rumah sakit dekat rumah, sementara hari ini juga jadwalnya sidang skripsi secara virtual. Segera aku hubungi putriku agar mengecek kondisi adiknya dan menyiapkan sarapan. Usai ujian, putraku ada memeriksakan diri ke dokter bedah sesuai saran dari dokter yang memereiksanya semalam.
Kabar yang kudapatkan setelah putraku memeriksakan diri ke dokter spesialis bedah membuatku gelisah, putraku didiagnosa mengalami peradangan pada usus buntu nya, dan satu-satunya jalan keluar adalah dengan pembedahan. Tidak ada seorang ibu yang tidak mengkhawatirkan kondisi anaknya yang sedang sakit dan harus melakukan tindakan operasi. Bahkan aku tidak bisa menemaninya terlebih telah hampir sebulan kami tidak berjumpa. Aku ingin segera pulang, segera berjumpa dan menemaninya menjalani proses demi proses untuk penyembuhannya. Lagi-lagi takdir berkata lain, reagen PCR masih sulit sekali didapatkan, yang tercepat masih 2 hari lagi baru tersedia. Tidak ada pilihan lain, kami menunggu 2 hari lagi, dengan hati yang remuk redam mendengar putraku mengeluh kesakitan dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Operasi dilakukan keesokan harinya, anak, menantu, dan calon menantuku bekerjasama agar tetap bisa menjaga putraku disela-sela tugas mereka yang memang sedang sangat sibuk mengurusi covid-19 yang memang kasusnya sedang sangat tinggi. Di sini kami berjuang agar secepatnya bisa melengkapi dokumen penerbangan, seperti hasil tes PCR, dan kartu vaksinasi covid. Karena suamiku belum berani melakukan vaksinasi, kami memilih mencari surat keterangan dari dokter spesialis Jantung, bahwa memang belum bisa divaksin karena kondisi penyakit yang selama ini beliau derita.
Hari yang dinanti pun tiba, kami ke Rumah Sakit Batramas Kendari untuk melakukan tes PCR, dengan harapan hasil segera keluar. Kesokan harinyaseperti di kotaku agar bisa segera mencari penerbangan untuk kembali ke Jogja. Ternyata tidak bisa secepat di jogja, kami diminta menunggu selama 3 hari. Bersamaan dengan itu putriku mengabarkan bahwa penerbangan paling cepet hanya tersedia di hari Jumat tanggal 30 Juli 2023, sementara penerbangan hari berikutnya harus melalui transit di Jakarta selama hampir 24 jam. Rasanya aku tidak sanggup membayangkan jika harus dengan penerbangan berikutnya. Akhirnya aku memutuskan meminta adikku mengusahakan agar hasil PCR kami segera keluar. Di tengah kecemasan tentang tiket pesawat, setidaknya ada kabar baik bahwa putraku sudah di perbolehkan pulang.
Semalaman tidurku tidak nyenyak, begitu juga dengan putriku yang menemani adiknya dan memantau hasil PCR ku agar bisa mengejar penerbangan esok hari. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memudahkan urusan kami, hasil PCR kami dapatkan pada hari Jumat dini hari dan dinyatakan negatif. Aku segera mengirimkan hasilnya kepada putriku dan memintanya memesan tiket penerbangan pagi itu dengan maskapai yang tersedia yakni Garuda Indonesia. Sedikit lega mendengar kabar tiket sudah dibooking, segera kami berkemas dan bersiap untuk menuju bandara.
Hampir seluruh keluarga mengantarkan keberangkatan kami kembali ke kota yang telah aku tinggali selama hampir setengah usiaku saat ini. Kami berpamitan, suasana haru dan penuh kekeluargaan terpancar jelas dari keluarga besar kami. Sampai jumpa lagi Kota Kendari, semoga segera bisa berkunjung ke sini lagi.
Kami tiba di bandara Yogyakarta kurang lebih pukul 2 siang. Dengan taksi bandara kami diantarkan menuju lokasi tes antigen kemudian menuju tempat tinggal kami. Perasaan lega meliputi hatiku, anak cucuku berkumpul di rumah saat kami tiba, akhirnya aku bertemu putraku. Puji syukur aku panjatkan masih di berikan kesempatan merawat putraku dalam masa pemulihannya.
*Tidak peduli sebesar apa kamu sekarang, orang tuamu akan selalu menyelipkan doa kebaikan untuk anak-anak nya.*