Kustiningsih,
Perkenalkan nama saya Kustiningsih biasa dipanggil Bu Ning atau Bu Kusti. Saya sekarang bekerja di salah satu madrasah di daerah Kulon Progo, madrasah yang berada di pinggiran dan naik turun bukit. Yup di sana, di MTs Negeri 3 Kulon Progo tercinta sebagai guru BK. Saya bergabung menjadi guru BK sejak tahun 2002 yaitu sebagai guru honorer di SMPN 1 Pengasih. Pengalaman pertama yang tak mungkin tak terlupakan yaitu gaji Rp 50.000,00 perbulan. Sangat kecil memang, namun harus disyukuri. “Semoga menjadi batu loncatan untuk masa depanku,” gumamku dalam hati. Saat kubaca tulisan diinternet, “Menjadi guru merupakan sebuah pengabdian diri untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik,” ucapku saat ngobrol dengan suami. Sambil tersenyum suamiku yang paling ganteng sedunia mengangkat jempol dua.”Masyaalloh, luar biasa istriku ini,”ucapnya tersenyum lebar.
Setahun telah berlalu akhirnya aku ikut pendaftaran guru bantu dan alhamdulillah lolos dan diterima. Tahun berikutnya aku ikut pendaftaran Guru BK CPNS diinstansi Kementerian agama. Pada tanggal pengumuman yang telah ditentukan akhirnya aku mencari koran. Sambil aku membaca pengumuman koran kedaulatan Rakyat aku berucap,“Alhamdulillah, aku lolos PNS.” Akhirnya aku mendapat tempat tugas di MTs Negeri Donomulyo. Begitulah kisahku saat ingin menjadi PNS.
Para pembaca yang Budiman, itulah sekelumit perjuanganku menjadi guru. Namun disini aku akan menceritakan pengalamanku membantu menangani permasalahan siswa. Pembaca yang budiman, ada cerita nih tentang muridku yang ingin kubagi ke para pembaca, sedikit kisahku saat menangani masalah siswa, tetapi berhubung ini adalah kasus pribadi untuk nama siswanya saya samarkan ya, anggap saja namanya Kiki.
Pada tanggal 20 Juli 2023 sekitar pukul 20.00 WIB ada chat dengan nama kontak Kiki 8a, isi chatnya adalah
“Assalamualaikum Bu Kusti saya Kiki kelas 8a, apakah saya boleh curhat ke Bu Kusti?” tulis Kiki.
“Waalaikumsalam Kiki, ok Kiki, besok pagi ibu ada waktu hari ini, enaknya jam berapa?” balasku.
“Nanti siang setelah sholat dhuzur saja bu?” jawab Kiki
“Ok siap, dimana enaknya Kiki? Di serambi mushola apa diruang BK atau dimana kamu maunya?” balasku.
“Diruang BK saja bu, bisa kan.” jawab Kiki.
“Ok siap, saya tunggu ya diruang BK, Bu Kusti hari ini standby diruang BK” balasku
“Terima kasih bu nanti saya keruang BK, terima kasih Kembali,” balas Kiki
“ok” Jawabku.
Chat kitapun berakhir disini.
Singkat cerita waktu menunjukkan pukul 12.30 WIB, Kiki datang diruang BK.
“Assalamualaikum…” sapa Kiki
“Waalaikumsalam…” jawabku
“Silahkan…Kiki ya?” sahut saya
“Iya bu…” jawab Kiki.
Saat itu juga Kiki saya persilahkan duduk di sofa panjang warna coklat. “Silahkan duduk Kiki,” kataku semangat.
“Iya Bu Kusti,” jawab Kiki lirih
Kemudian saya duduk juga di sofa bersebelahan dengan Kiki. Sebenarnya saya sendiri pernah ngobrol sama Kiki saat saya memberikan bimbingan klasikal di kelasnya. Sofa panjang warna coklat, tirai warna pink, kelihatan nyaman untuk berbagi cerita. Ruang inilah biasanya untuk tempat konseling individu anak-anak dan Kiki saat ini. Tempat ini agar Kiki lebih berani bercerita tanpa rasa malu dan canggung. Dari sini Kiki mulai bercerita masalah yang dia alami.
Dengan mata merah tanpa berucap apapun Kiki merogoh saku celananya, dan mengambil barang entah apa dari sakunya celananya, tangan Kiki seakan akan sudah memegang sesuatu dan seketika itu melirik kearahku.
Seketika jantungku berhenti sejenak, berpikir keras melihat gelagat Kiki yang menurutku mencurigakan, seakan akan otak memberikan isyarat “Hati-hati kamu Kusti, kamu dalam kondisi terancam dan berbahaya, kamu usir anak ini dari hadapanmu …” dengan perasaan yang was-was dan sedikit takut tapi selalu berusaha untuk tenang dan memulai bertanya pada Kiki:
“Ada apa Kiki? kamu mencari apa didalam tas kamu?” tanyaku pelan.
Tanpa bicara Kiki mengeluarkan pecahan gelas dari dalam saku celananya dan ditelan di dalam lidahnya, seketika saya menelan air ludah dan sedikit syok melihat Kiki mengeluarkan itu dari dalam tasnya dan digigit. Dan saya berkata dengan diri saya sendiri “Nah…benarkan firasatku…” dengan penuh rasa hati-hati dan sedikit takut saya bertanya kepada Kiki
“Kiki, itu apa yang kamu makan?” tanya saya pura-pura tidak tahu.
“Enggak makan apa-apa Bu,” jawab Kiki acuh.
Sambil ku pegang pundaknya, saya berucap,”Kiki…..kamu baik-baik saja kan?” Kiki tidak menjawab apapun dan hanya menunduk dengan tatapan kosong. Ku elus kepalanya sambil kutanya kembali. “Kiki….kamu sehat?? “Iya bu,” Jawabnya. Apakah ada yang dapat Ibu bantu?” Kiki masih diam agak lama dan meneteskan air mata kemudian tanpa kuduga dia menjawab dengan anggukan.
Sambil kupegang pelan tangannya sebagai rasa empati aku mulai bertanya kembali, “Kalau boleh tahu, ada apa sebenarnya, mungkin kamu dapat cerita pada ibu.”
Sambil menggigit-gigit benda yang ada dimulutnya dan menarik nafas panjang Kiki mulai bertanya, “Saya bisa curhat ke Ibu?”
“Ohhh tentu sangat bisa”, jawabku agak keras tanda sangat terbuka mendengar curahan hatinya.
“Insyaalloh ibu mau mendengar, apapun yang akan Kiki ceritakan ke ibu, tapi sebelumnya ibu mau tau, yang ada dimulutmu itu apa?” Tanyaku pelan.
“Pecahan gelas bu?” jawab Kiki tanpa rasa khawatir.
“oh…boleh ibu tahu itu punya siapa?” tanya saya
Dengan nada kesal dan mata merah Kiki menjawab, “Pecahan gelas ini punya saya,” Kemudian dalam hati saya berkata : “Ya Alloh, ada apa ini sebenarnya”
“Boleh ibu minta yang kamu gigit itu?? Coba ibu yang pegang ya?” Pintaku penuh harap.
“Iya bu, tapi nanti kembalikan saya lagi”.
Aku iyakan saja yang penting pecahan gelasnya aman.
Tanpa aku suruh akhirnya Kiki mulai cerita. “Mulutku sering mati rasa Bu, kalau pas hati saya gundah dan marah, saya benci ayah. Cerita Kiki sambil mengepal meninju sofa dengan tangan kanannya. Kamu membenci ayahmu??? Tanyaku.
“Iya, saya sangat benci ayah”, Jawabnya
“Boleh ibu tahu apa yang membuat kamu benci sama ayahmu?” tanya saya tanda empati sama Kiki.
“Iya bu, saya mau cerita ke bu Kusti soalnya saya benci, marah, bingung, putus asa, saya harus bagaimana dengan hidup saya” cerita Kiki lirih sambil meneteskan air mata
“Coba ceritakan ke ibu nak, siapa tahu setelah kamu cerita pikiranmu jadi tenang. Paling tidak uneg-uneg yang mengganjal dihatimu nanti akan berkurang jika kamu sudah cerita ke ibu. Ibu janji akan membantu permasalahnmu dan insyaalloh akan ibu rahasiakan permalahanmu ini. Sekarang coba ceritakan ke ibu.”
“Iya Bu Kusti, saya sangat benci dengan ayahku, akan kubunuh wanita itu”.” cerita Kiki geram.
“Ok Bu Kusti mengerti apa yang kamu rasakan, kalau boleh tahu apa yang membuat kamu benci dan ingin membunuh? Pintaku sambil pegang pundaknya.
“Saya kasihan ibu saya juga Bu, saya tidak bisa melihat ibu saya menangis? Bapak saya selingkuh dengan wanita itu, bapak saya sering menyakiti dan menghajar ibu juga”, lanjut cerita Kiki sambil sesenggukan.
“Lalu…?”, kutatap mata Kiki yang bercucuran air mata.
“Ayah saya jarang pulang ke rumah, setiap permasalahan ditanggapi dengan marah dan main tendang, main pukul, main tanpar. Saya juga sering dihajar jika salah sedikit. Apa-apa salah, apa-apa marah.” lanjutnya berapi-api.
“Apakah itu terjadi juga pada kakak-kakakmu?” tanyaku.
“Iya Bu, semua yang di rumah jadi sasarannya jika ayah marah”. tegasnya sambil mengusap air matanya.
“Boleh kamu menangis, menangis keraspun boleh,” kataku sambil membantu mengusap air matanya yang masih ada dipipinya.
Kemudian, setelah agak reda, kusodorkan segelas air putih dan diminum beberapa kali tenggukan. Akupun iseng bertanya untuk mengurangi ketegangan, “Kamu tadi sudah sholat dhuhur belum?”
“Maaf bu, belum.”
Ternyata dia belum sholat dhuhur saat kutanya, akhirnya kupersilahkan sholat dhuhur di mushola madrasah.
“Kiki, silahkan kamu sholat dhuhur dulu, kita lanjut nanti setelah kamu sholat dhuhur atau kapan ibu ngikut kamu ya?” kataku.
“Iya bu, nanti habis sholat dhuhur, saya nemui ibu lagi,” Jawabnya
Sholat dhuhur telah berlalu, jadilah kita ketemuan lagi. Dengan langkah lemas Kiki masuk ruang BK kembali. Kemudian dia duduk di tempat yang tadi, di sofa warna coklat. Sekilas saya perhatikan saat masuk, “Ya Allah kagetnya saya, ternyata dia menggigit jarum pentul. Begitu dia mengetahui saya memperhatikan, jarum pentulnya makin ditelan.
“Bagaimana Kiki, kamu baik-baik saja kan?? Aku bertanya keadaannya.
“Beginilah bu,” jawabnya pendek.
Pendek cerita, jarum yang digigit aku minta dengan baik-baik dan akhirnya diberikan.
“Baiklah, ayo kita teruskan lagi ceritamu tadi, ibu siap mendengar”, pintaku
Kiki, kamu tadi bercerita kalau ayahmu selingkuh ya? Memangnya kamu mengetahui ayahmu selingkuh dari mana?”
Kiki menatapku sejenak dan menjawab, “Saya pernah diajak ke kontrakannya saat saya masih kelas 4 SD”. Bahkan Perempuan itu pernah ke rumah dan membentak-bentak ibuku, tetapi saya tidak paham.”
“Oh ya, ibu paham perasaanmu, Lalu…?” pertanyaanku pendek.
“Saat ayahku tahu, ternyata ayah juga tidak membela ibuku, bahkan ayah marah-marah dan membanting magicom di depan ibuku, akupun kena sasaran ikut dibentak-bentak. Apa yang saya lakukan tidak pernah benar dimata ayahku, bahkan salah sedikit selalu ditampar, ditendang, dikata-kain jelek,” Cerita Kiki sambil mengepal. “Saya mending tidak punya ayah, saya sangat benci ayah,” Ucapnya keras.
“Ibu sangat mengerti apa yang kamu rasakan saat ini, lalu apa yang akan kamu lakukan saat ini,” tanyaku.
“Akan saya bunuh wanita itu,” ancamnya.
“Iya Ibu sangat paham, ibu tahu kamu sangat marah, tapi membunuh itu dosa, selain kamu mendapat balasan di akherat, nanti kamu terancam di penjara… kamu tidak boleh gegabah bertindak,” Kataku.
“Selain itu masa depanmu akan kacau, siapa yang akan melindungi ibumu kalau kamu di penjara, apakah ayahmu?” Kamu sayang ibumu kan?”.
“Ayah ya tidak mungkin bu, saya juga sangat sayang ibu,” jawabnya.
Sekarang, tenangkan pikiranmu dulu, jangan gegabah mengambil sikap. Kalau boleh ibu mau tanya, “Sholatmu sudah rutin belum ya?”
Kiki menjawab hanya dengan gelengan kepala.
“Nah….coba sholat wajibnya lebih ditekuni lagi, jangan lupa selalu berdoa sehabis sholat, bagaimanapun ayahmu adalah orangtuamu, sebenci dan semarah apapun kamu harus selalu mendoakan. Mulai sekarang sehabis sholat kamu berusaha mendoakan orangtuamu.Agar ayahmu terbuka kembali hatinya, mendapat hidayah dari Alloh…insyaalloh doa anak sholeh akan terkabul. Dengan keiklasan kamu, insyaalloh segera didengar dan harapanmu akan terkabul.” pintaku.
“Selain itu janganlah kamu melakukan hal bahaya seperti tadi, menggigit pacahan gelas, jarum dan lainnya, itu hal bahaya nak, mulai sekarang kamu harus bisa menunjukkan ke orangtuamu, terutama ayahmu bahwa kamu bisa sukses walaupun orangtuamu begitu. Kiki mengangguk tanda setuju. Setelah hati Kiki sudah tenang, akhirnya dia pamit dan kembali ke kelas. Tak lupa saya berpesan agar tidak sungkan dan takut untuk kembali ke ruang BK jika masih ada uneg-uneg yang masih mengganjal.
Inilah cuplikan cerita saat konseling yang disampaikan Kiki kesaya, kita berada didalam ruang konseling individu hampir 2 jam menceritakan keluh kesahnya Kiki, semoga permasalahan yang dihadapi bisa terselesaikan, minimal masalahnya terkurangi sehingga tidak mengganggu belajarnya.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam permasalahan ini adalah, bahwa setiap anak adalah unik, permasalahan sama belum tentu penerimaannya sama. Oleh karena itu peran orang dewasa, orangtua bahkan guru sangat berpengaruh dalam mengarahkan dan membantu siswa. Apalagi saya sebagai guru BK menangani masalah yang bermacam-macam, dengan kondisi yang berbeda-beda. Suatu kebanggaan bagi seorang guru BK bisa membantu siswa dalam memecahkan permasalahan siswanya.