Dibalik Suksesnya Aku

Atinsiami, S.Pd.

“Terus berjuang adikku, jangan pernah menyerah, kalau butuh dana bilang ke aku,” masih terngiang kata kakakku waktu itu. Aku dan kakakku adalah anak piatu yang ditinggal ibu di usia masih belia. Aku dan kakakku dirawat kakek dan nenek dari ayahku. Dan sepeninggal ibuku ayahku memutuskan untuk hidup dengan keluarga barunya. Kami berdua berjuang melawan kerasnya kehidupan, melupakan masa indah remaja. Meski kadang iri saat melihat teman-teman sebaya asyik bermain sementara kita punya beban bekerja membantu orang tua.

Ketika aku sma,kakakku pergi merantau ke negeri seberang sana, bermodalkan pinjaman dari nenek ia mengadu nasibnya disana. Satu tahun baru lunas pinjamannya, dan di tahun kedua dia mampu menanggung biaya sekolahku. Ketika kakakku belum bisa membiayai sekolahku, nenekkulah yang berjuang memenuhi kebutuhanku. Usianya yang sudah tua tidak menyurutkan semangatnya untuk terus bekerja demi terpenuhinya kebutuhan keluarga. Nenekku adalah seorang penjual sengek benguk. Makanan yang terbuat dari kacang benguk. Proses pembuatannya manual dan nenekku menjualnya di pasar tradisional yang berjarak 3 km dari rumah. Nenekku berjalan kaki menempuh jarak 3 km itu dengan membawa sepanci besar sengek benguk di punggungnya. Kalau hari libur biasanya aku yang menggantikan menjual sengek benguk itu. Aku pun berjalan kaki sama seperti nenekku. Melihat perjuangan nenekku membangkitkan semangat belajarku. Semua kbm saya ikuti, ekstrakurikuler maupun intrakurikuler. Semua kursus kursus saya jalani hingga akhirnya aku lulus sma dan mengantongi beberapa sertifikat keahlian.

Setamat sma aku melamar disebuah lembaga, sebut saja Departemen Agama yang sekarang disebut dengan Kementerian Agama. Sebuah madrasah dekat rumahku yang ada di pelosok desa. Tiga tahun aku jalani dengan berjalan kaki untuk pulang dan pergi kesana. Honorku yang tidak lebih dari 100.000 itu hanya cukup untuk biaya cuci baju. Aku harus mencari pekerjaan lain guna mencukupi kebutuhanku. Bermodal keterampilanku dalam bermain komputer, banyak teman-teman kerja yang memberiku pekerjaan, Alhamdulillah bisa menambah pemasukan.

Setelah tiga tahun bekerja disitu aku dipersunting lelaki yang kini jadi suamiku. Aku dan suamiku sama – sama berkarir sebagai honorer tu dengan gaji yang tidak lebih dari 500.000. Kami berjuang untuk menghidupi keluarga kecil ini. Karena satu tahun setelah menikah aku dikaruniai anak laki-laki. Hari -hari terasa berat tapi harus tetap dijalani. Setiap tanggal muda datang senyum mengembang namun tak lama bertahan, karena pulang uang sudah tidak ditangan berubah menjadi susu formula dan segala kebutuhan. Esoknya harus berpikir mau masak apa, beli bensin dengan uang dari mana. Kadang tak kuasa menahan tetesan air mata, tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa bersabar dan berdoa. Allah maha pemurah, disaat aku menyerah dan berpasrah tak disangka datang rejeki tak disangka sangka. Rekan-rekan kerjaku selalu menguatkan aku bahkan mereka sering membantu keuanganku. Selain rekan -rekan kerja keluargaku juga membantu perekonomianku, baik itu kakakku maupun nenekku. Alhamdulillah aku dikelilingi orang – orang baik yang selalu mendukungku.

Tak terasa waktu terus berlalu, anakku mulai memasuki masa sekolah, kembali biaya hidup semakin bertambah. Bertambahnya kebutuhan membuatku harus memutar otak agar terpenuhi semua kebutuhan. Beruntungnya aku dikarunia anak yang tidak menuntut. Ketika dia meminta aku tak bisa memenuhi, dia bisa memahami. Bahkan pernah suatu ketika aku meneteskan air mata, karena tak bisa memenuhi keinginannya. Anakku yang masih balita terpaksa harus bepikir dewasa, ikut menjalani hidup dengan seadanya. Meskipun begitu Allah masih mempercayai keluargaku. Sang pencipta mengamanahi putra kedua disaat badan sedang tidak sehat.

Saat itu aku sedang pengobatan penyakit tubercolusa, obatnya yang membuat mual membuatku untuk berhenti ikuti program keluarga berencana. Ternyata itu jadi awal hadirnya anak kedua. Meski dengan segala resikonya takdir itu saya terima. Kelahiran anak kedua menambah kebahagian keluarga.

Meski di tahun pertama dia butuh perhatian ekstra. Penyakitku berimbas ke dia, bayi mungil itu terbatuk batuk setiap waktu hingga dokter memutuskan untuk opname. Karena masih balita aku tak tega, aku pilih jalur lainnya. Alhamdulillah semua bisa teratasi.

Tahunpun berganti, kebijakan pemerintah juga berganti. Tenaga honorer dibawah dinas pendidikan di masukkan dalam kategori tenaga bantu dan suamiku termasuk disitu. Alhamdulillah, rejeki bertambah. Melihat keadaan itu kuberanikan diri untuk ijin suamiku melanjutkan mimpiku yaitu kuliah Sarjana Strata 1, dan diijinkan suamiku dengan catatan aku harus mampu.

2016 aku memulai kuliahku, aku harus berbagi waktu. Bekerja, kuliah dan juga sebagai ibu. Perjalanan kuliahku tidak semulus jalan tol bawen. Penuh dengan lika liku. Di tahun pertama kuliahku Allah mengambil mertuaku yang selalu menjaga anak-anakku. Aku bimbang dan ragu.”Akankah ini jadi akhir dari karirku,” tanyaku. Akhirnya aku berpasrah dan Allah tunjukkan jalan, ada sebuah penitipan yang bisa menjaga anakku dengan biaya yang terjangkau. Aku bisa melanjutkan kuliah dan kerjaku. Meski saat itu aku tidak berpikir bagaimana untuk menutup kebutuhan itu. Hanya bermodal keyakinan aku lanjutkan kuliahku. Untungnya kampusku tidak terlalu menuntut biaya, sehingga aku bisa menunda pembayarannya. Segala usaha aku coba agar semua bisa berjalan. Untuk menambah pemasukkan, sepulang bekerja aku mencari tambahan pemasukan dengan mengajar les privat di luar kecamatan. Aku kadang pulang sampai malam. Apakah aku merasa lelah? Tentunya iya, karena aku juga manusia biasa. Namun meskipun melelahkan hidup harus terus berjalan, perjuangan harus tetap dilanjutkan. Pada tahun 2020 covid melanda negeri ini. Pandemi ini menjadi anugerah tersendiri untukku karena semua mahasiswa bisa mengajukan beasiswa dan bantuan kuota. Akhirnya aku bisa melunasi biaya kuliahku dengan beasiswa itu.

2021 ijazah S1 ada di tanganku, berlinang air mata bahagia tatkala aku wisuda. Impianku sejak masa sma sekarang menjadi nyata. Cucuran keringat dan air mata terbayar dengan ijazah yang sekarang ditangan saya. Setelah ijazah kuterima, aku mengajukan permohonan ke kepala madrasah agar mengubah statusku dari TU menjadi Guru. Dan pak Kepala mengabulkan permohonanku. Tahun 2021 aku resmi menjadi guru.

Pada tahun 2023 muncul kebijakan baru yaitu penerimaan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK di kementerian agama. Waktu itu guru honorer di madrasah negeri diutamakan. Aku mencoba dengan bermodal segenap doa. Doa dari keluarga dan juga rekan rekan kerja. Alhamdulillah aku lolos dan diterima. Agustus 2023 aku resmi menjadi PPPK. Berlinanglah air mata bahagia. Meski ada sedikit kecewa karena nenekku yang berjuang keras untukku tidak menyaksikan kebahagiaanku. Seandainya dia masih ada pasti dia akan sangat bangga dan bahagia, cucu tersayangnya mendapatkan apa yang diimpikannya.

Terima kasih kakakku, nenekku dan semua orang -orang yang menyayangiku. Kesuksesanku adalah buah perjuangan kalian. Ini semua berkat kalian, tanpa itu takkan sampai aku di titik ini. Untuk nenekku, semoga Allah mengampuni dosamu dan membalas segala amal kebaikanmu. Nenekku, anak piatu yang kau asuh dulu kini telah mewujudkan keinginanmu. Semoga engkau disana bisa melihat ini semua. Terima kasih nenekku, kakekku, kakakku dan semua keluargaku serta rekan rekanku. Semoga suksesku membawa berkah bagi semua.

Bagikan ke...

Lihat juga

Terima Kasih, Kamu Media Belajarku

Fitri Astuti, S.Pd. Aku adalah seorang pengajar di salah satu madrasah di Kulon Progo. Suatu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *