Cita-Citaku Menjadi Guru

Drs. Sukarlan

Tahun pelajaran 1974 aku didaftarkan masuk SD Negeri Jonggrangan 2 di Beteng Jatimulyo Girimulyo Kulon Progo wilayah Menoreh yang berhawa sejuk dingin dan menyegarkan. Di kelas 1 dan kelas 2 diajari dengan sabar, telaten penuh keibuan oleh Ibu Sudarmini yang begitu redup, sejuk yang selalu “ngagem nyamping” berbusana Jawa lengkap dengan sanggul khas “Priyayi Jawa.”

Tembang dolanan yang saya hafal dari Beliau adalah :
Siji loro telu.
Tangane sedheku.
Mirengake bu guru.
Menawa didangu.
Papat nuli lima.
Lenggahe sing tata.
Aja padha sembrana.
Mundhak ora bisa.

Dari cakepan tembang (lirik, syair) tersebut memberikan pesan moral kepada para muridnya, jika mau berhasil, pandai, mendapatkan ilmu, maka setiap siswa harus mau duduk yang baik, tenang, tertib dan tidak semaunya sendiri. Duduk ketika menulis, badan harus tegak, buku tulis harus diletakkan diatas daun meja. Arah buku harus sejajar segaris lurus dengan daun meja. Jarak mata dan buku ketika menulis atau membaca minimal 30 cm.

Selain itu harus selalu memperhatikan dan mematuhi perintah guru, tidak boleh abai, tidak boleh acuh, Apalagi tidak boleh menolak ketika diperintah guru.Sebagai murid harus selalu taat dan patuh kepada ibu gurunya. Tidak kalah pentingnya, sumber petaka penyebab kebodohan adalah sembrana dalam belajar.

Jika ada perasaan tinggi hati, meremehkan apa saja, siapa saja, kapan saja…itulah sebagai alamat akan menjadikan kebodohan. Di sinilah pentingnya segenap keseriusan dalam belajar harus dikembangkan dan dipupuk dibudidayakan oleh semua siswa.

 Itulah sesuai yang dituliskan dalam Taklimul Muta’allim Wa suhbati ustadzin, ketemu piwulange guru. Lulus SDN Jonggrangan 2 di tahun 1979/1980, dengan berbagai kenangan diajari Bapak Kepala SD N Jonggrangan 2, Suwargi Bp.Martareja Taruna cukup tegas dan “kereng” menurut kata teman temanku. Diajari Suwargi bapak Samat yang sangat santun, bagus, perawakan tinggi, gagah dan berwibawa.

Salah satu tembang yang saya hafal dari beliau adalah tembang Dhandhanggula yang “cakepan” syairnya sbb :
Wus jamake wong ngaurip iki.
Tuwa anom angupaya boga.
Minangka cagak uripe.
Ywa kongsi tibeng lampus.
Nadyanana wong amastani.
Puluh mangana ika.
Mapan wajibipun.
Wong urip keneng palastra.
Datan ora ing tembe pati nglakoni.
Tan kena sinelakan.

Dalam tembang Dhandhanggula di atas memberikan pejajaran bahwa :
Sebagai pribadi, sebagai manusia, harus bisa bersemangat dalam bekerja mencari nafkah kehidupan secara halal sesuai bakat minat masing masing, ketrampilan masing masing dengan cara “sewu dedalane” sebagai sumber penghidupan mata pencaharian, mencari kesejahteraan hidup.

Nggayuh kamulyaning urip, goleh oleh, luru nemu, sembada kang jinangka, dadi kang kaesthi.” Di kelas IV, diajari suwargi Bapak Sariman guru yang pernah ikut tergabung dalam pasukan Pembebasan Irian Barat zaman Tri Kora, Tri Komando Rakyat, tahun 1963. Di kala beliau bercerita mengenai pengalaman perjuangannya di medan juang sangat berkesan dan terkenang. Sebagai tembang kenangan yang pernah saya “tembang“kan di hadapan beliau adalah tembang Dhandhanggula yang Syair “cakepan” dengan lirik yang cantik sebagai berikut:

Dupi kalamangsa wus mbarengi.
Nuli sirna kawujudanira.
Malih dadi kupu gedhe.
Endah ing wujudipun.
Elarira gilap ngapeni.
Mabur marani kembang.
Arsa nesep madu.
Akarya kuwating raga.
Klepar kleper miber aneng taman sari.
Nigan ing gegodhongan.

Makna tembang tersebut mengisahkan kehidupan ulat yang sudah metamorphosa berubah wujud menjadi kupu.Karena ulat pemakan daun, dia puasa sehingga berubah bentuk menjadi kepompong, yang pada akhirnya menjadi kupu yang elok rupawan, berubah pula pola makannya. Ketika ulat makan dedaunan dan membuat kerusakan dan kerugian petani, ketika berubah menjadi kupu, makananpun berubah menjadi pencari madu diantara bunga bunga yang berkembang. Di saat yang sama kupu pun berjasa membantu petani, dalam hal penyerbukan,proses pembuahan bagi tanam tanaman di kebunnya, sehingga berhasil menjadi buah, yang pada gilirannya akan menjadikan panen hasil pertaniannya.

Selain itu ada pula syair “cakepan ” tembang Asmaradana yang menjadi hafalanku :
Kala kula taksih alit.
Winulang ing yayah rena.
Dipun gendhong kewar kewer.
Mekaten lampah hamba.
Enjang sonten siyang dalu.
Sanget ing panuwun kula..

Maksud syair tembang di atas adalah :

Ketika anak anak lahir sebagai bayi kecil mungil menggemaskan, membuat bahagia sekaligus bangga bagi bapak ibunya. Dengan penuh kasih sayang tulus, pengharapan yang tidak pernah pupus, orang tua kita, Bapak ibu mencurahkan segala daya upaya dan kasi sayangnya selalu merawat, mengasuh dan memelihara “nggula wenthah” putra putrinya. Tidak lupa selalu dipanjatkan doa demi sukses bahagia mulianya anak anak tambatan hatinya.

Maka sebagai anak hasusnya selalu berterimakasih kepada Ibu Bapaknya, jangan lupa selalu mendoakan memohonkan ampun dan rahmat kasih sayang dari Allah swt.

Kala kula dados murid.
Dipun tuntun den gegulang.
Ing guru kadi putrane.
Kebak asih tlaten sabar.
Karaos salebeting tyas.
Sayektos pakaryan luhur.
Baya apa wales ingwang.

Dari pesan tembang di atas, memberikan pesan bahwa ketika anak anak menjadi murid, dia selalu diajari, dituntun dalam kebaikan, menuju kesempurnaan hidup layak. Dengan kasih sayang, dengan telaten, dengan sabar bapak ibu guru di madrasah memberikan pelayanan terbaik kepada para siswa siswinya, sebagai bentuk nyata darma baktinya. Walaupun begitu, sebagai seorang guru tidak akan pernah mengharap balasan apapun dadri siswa siswinya. Kecuali seorang guru akan merasa berbahagia, merasa bangga jika siswa siswinya berhasil dalam belajarnya.

Poma poma wekas mami.
Anak putu aja lena.
Aja ketungkul uripe.
Lan aja duwe kareman.
Marang pepaes donya.
Siyang dalu dipun emut.
Yen urip manggih antaka.

Maksud yang terkandung dalam tembang ini adalah
Sebagai pesan dalam menjalani tugas kehidupan, seseorang hendaknya orang hidup jangan terlena mengikuti kesukaan kehendak nafsu hatinya. Tetapi hendaknya selalu diingat hidup harus bermanfaat bagi kehidupan, jangan lupa kepada tuntunan agama, yang nanti akan dimintai pertanggung jawabannya ketika dipanggil menghadap yang Maha Kuasa di alam baka.

Di kelas V, diajari oleh Suwargi bp. Supriyono, yang selain sebagai guru juga sebagai pelaku seni sebagai Penabuh gamelan atau Wiyaga wayang kulit hingga ahir hayatnya. Bahkan ketika wafatpun beliau sedang dalam mengiringi pentas wayang, sebagai penabuh.Beliau memberi semangat untuk bersekolah kepada putra putrinya agar menjadi orang yang berguna bagi “bebrayan agung“.
Salah satu tembang yang aku ingat adalah :

Mider ing rat angelangut.
Lelana njajah negari.
Analasah wana wasa.
Sumengka agraning wukir.
Tumurun ing jurang trebis.

Pesan moral yan disampaikan dalam tembang ini adalah :
Tugas berat kehidupan dam menggapai dan mengejar cita cita. Diibaratkan bagaikan selalu mengembara mengejar impian yang tidak kenal lelah dalam mencapainya. Jangan patah semangat, jangan patah arang ketika memperjuangkannya. Selain itu, Suwargi Bapak Supriyono sering menceriterakan tokoh wayang Pandawa lima yang bekerja keras ” Babat Wana Marta” menebang pohon besar di hutan luas untuk dibuat istana kerajaan “Amarta” yang menjadi negara besar adil makmur semua rakyatnya dibawah pimoinan punggawa kerajaan yang adil dan bijaksana dilandasi “pranatan paugeran” yang agamis, mengedepankan selalu betbakti pada keutamaan dan nilai nilai keTuhanan.

Di kelas VI, diajari oleh Bapak Sukijan. Beliau seorang guru yang sabar dan menjadi ketua KUD.  Ketika belajar di MTs N Jatimulyo dipimpin oleh Bp.Sukardi yang penuh disiplin dan tegas. Penuh perjuangan dalam menghidupkan MTs N Jatimulyo yang berada di pegunungan Menoreh, diantara persaingan dengan 4 SMP Negeri dan 3 SMP swasta. Di kala duduk di bangku SD dan MTs, tiap hari belajar selalu dipandu dan diarahkan oleh bapakku yang penuh tanggungjawab dan penuh perhatian serta kasih sayang. Materi pelajaran selalu diulang ulang dan selalu diingatkan. Kesempatan terbaik kala itu adalah setiap pagi,siang dan sore ketika makan dan minum bersama seluruh anggota keluarga.

Bapakku selalu memberi petuah, arahan dan petunjuk, untuk selalu diingat dan dikerjakan. Selain itu setiap hari diajari merumput untuk memberi makan ternak, bertani bercocok tanam di tegalan menanam palawija, dan mencari kayu bakar untuk memasak. Itulah  pekerjaan rutin keseharian sebagai anak petani di pedesaan.Suwargi Bapak Sukirman Marta Sukirna suwargi bapakku, suka sekali nembang Jawa dan ura ura sehingga walaupun belum tahu maknanya, karena sering mendengar tembang, lama lama menjadi hafal dan sedikit demi sedikit tahu alur makna dan alur ceritanya.

Masuk di PGA N Wates di tahun 1982/1983, diajari oleh bapak ibu guru dari berbagai disiplin ilmu, yang menjadikan semakin kuat dan semangat mengejar cita cita untuk menjadi guru. Pesan Bapak Presiden pertama  RI, “Gantungkanlah cita citamu setinggi langit”. Itulah yang disampaikan oleh guruku PGA N Wates suwargi Bapak Zukanan, BA, tahun 1985 yang lalu sebagai Guru Aqidah Akhlak. Itulah cita cita untuk  menjadi terasah terbentuk dan tertata sehingga menjadi minat yang selalu kami pegang kami impikan dan kami perjuangkan.

Pekerjaan menjadi guru sebagai panggilan. Ada suatu maqalah lau laa al murabbi laa ‘arafta Rabbi. Jika tidak ada guru, maka (seseorang ) tidak akan tahu Tuhan(nya). Betapa pentingnya anak anak sebagai generasi, pewaris kekayaan peradaban, sosial, budaya agama dan seluruh aspek kehidupan ini, sangat membutuhkan perantara  sebagai penunjuk arah generasi tersebut mau diarahkan, diajak, dibentuk  kemana.

Itulah pentingnya sosok guru.Walaupun diketahui, tidak ada guru yang hebat, tetapi orang yang hebat, salah satunya karena diarahkan, dididik, dan dimotifasi oleh gurunya. Secara prinsip, secara umum tidak ada murid yang bodoh.Yang ada adalah : Murid yang belum ketemu gurunya yang bisa membuat pandai.

Pekerjaan Guru sebagai tugas yang maha berat. Betapa beratnya tugas yang diemban seorang guru. Sebagai seorang pembelajar, yang bertugas mentransfer ilmu pengetehuan, karakter kepada para siswa-siswinya, guru juga dituntut menjadi sosok panutan yang setiap saat selalu dilihat dan dijadikan panutan orang bayak di sekitarnya, di masyarakatnya. Tidak ayal pula jika ada perilaku kurang pantaspun akan menjadi pergunjingan orang lain termasuk anak anak didik kita.

Berbagi ilmu itu bisa sebagai jariyah,sebagai ibadah dan memberi motivasi. Berbagai lapangan pekerjaan yang bisa ditekuni anak anak dalam menjalani kehidupannya, dan mendapati sumber penghidupannya.

Anak anak perlu diajak melihat dari dekat tentang pengalaman kerja yang sekira menarik bagi anak anak didik kita. Suatu saat anak ana asuh diajak ke pasar, melihat para petani menjual hasil panennya. Laku berapa, dapat uang berapa? Untuk apa uang hasi penjualannya..

Bagikan ke...

Lihat juga

Terima Kasih, Kamu Media Belajarku

Fitri Astuti, S.Pd. Aku adalah seorang pengajar di salah satu madrasah di Kulon Progo. Suatu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *