Suharisman, S.Pd.
Di saat pengumuman penempatan guru dari Kanwil Depdikbud DIY tahun 1994 pada waktu itu, dibacakanlah satu persatu nama mahasiswa dan jurusannya dari tempatku kuliah dengan SK penempatan ikatan dinas di SMP /SMA kabupaten , dan provinsinya. Setelah dengan perasaan dag dig dug menunggu sampailah pada namaku dibacakan di SMP N Walakaka Sumba barat NTT, sesaat aku tak bisa berkata-kata mendengar hal itu, semula harapanku hanya di pulau Jawa ternyata lain kenyataanya. Tidak ada bayangan bagaimana tempat yang mau dituju itu, akhirnya pulanglah aku dengan sedikit galau mampir ke toko buku mencari atlas dan info tentang tanah Sumba, maklum waktu itu informasi masih sebatas surat, radio, telegram, belum seperti sekarang jamannya HP dan internet semua ada di genggaman. Aku teringat Ketika SD dulu senang menggambar kuda, pedang di padang rumput, ternyata itu menjadi kenyataan di tempat tugasku yang baru masyarakat dalam kesehariannya memakai kain dan parang serta kuda sebagai alat angkut, kerbau untuk belis atau sebagai mahar jika mau mempersunting perempuan.
Akhirnya berangkatlah aku dengan bus jogja- Denpasar kemudian pesawat terbang Merpati foker 28 bersama 9 orang teman, yang laki-laki 3 dan 6 perempuan tujuannya sama yaitu kota kupang NTT untuk lapor melaksanakan tugas di kanwil Depdikbud sebelum menyebar ke tempat tugas masing-masing. Kami tinggal bersama di bekas Gedung SGO lama, tempat tugas semua di pulau Timor kecuali aku di pulau Sumba dan dan ibu T di pulau Rote, selama kebersamaan itu aku dan teman teman mendapat saran, masukan dan cerita suka duka dari kakak angkatan yang sudah lebih dulu berada di Kota Kupang. Dari cerita mereka kami jadi punya gambaran tentang daerah dan penduduk asli yang akan kita tuju.
Tempat tugasku ternyata masih jauh dari Kupang yaitu di Pulau Sumba yang harus ditempuh dengan kapal fery dua malam satu hari transit di Kota Ende Flores. Salah satu temanku yaitu ibu T yang sedang hamil tua diantar oleh suami tercintanya, mendengar berbagai cerita yang seram-seram dan keterbelakangan daerah tujuan kami ibu T menjadi ciut nyalinya untuk melanjutkan melangkah menuju sebrang lautan ke Pulau Rote, apalagi pada waktu itu gelombang laut lagi tinggi-tingginya. Akhirnya ibu T dan suaminya memutuskan untuk pulang Kembali ke Jawa menggantungkan SK nya, padahal tinggal kurang lebih 5 jam lagi perjalanan naik kapal fery untuk sampai Rote. Dalam hatiku kenapa tidak dicoba dulu sampai tujuan, kalau tidak kerasan baru pulang atau bagaimana jalan keluar lainnya. Mungkin bayangan di tempat baru terpencil, kalau melahirkan nanti gimana dst selalu menghantuinya. Kebersamaan kami bersembilan di tempat penampungan sementara di komplek SGO lama pinggiran pantai Pasar Oeba menjadi kenangan yang tak pernah terlupakan.
Berlayar dari Kupang ke Tanah Sumba seorang diri karena berpisah dari teman-teman terasa sangat menyedihkan, tetapi aku tetap punya tekad dan harapan demi masa depan, apalagi sudah pamitan dengan orang tua dan handai taulan, aku harus tetap sampai tujuan. Setelah naik kapal fery beberapa jam ternyata betul gelombang laut mengombang -ambingkan aku di tengah laut karena cuaca buruk akhirnya setelah 2 malam 1 hari sampailah juga di Waingapu Sumba Timur lalu naik bus 6 jam baru sampai Sumba Barat.
Aku tinggal di mess komplek SMP bersama sebagian besar guru-guru yang mengajar di sekolah itu termasuk kepala sekolahnya. Rumah kecil dengan dinding gedek beratapkan seng. Berdekatan dengan komplek Polsek, Puskesmas, Koramil serta Pasar Lamboya. Hanya saja masalah air minum yang harus mengambil sendiri dari sumbernya dengan dirigen atau ember dengan berjalan kaki kurang lebih 300 meter. Tugas menjadi guru di daerah terpencil memang perlu kesabaran dan perjuangan hidup menghadapi berbagai hal, tantangan dari segi letak geografis, budaya, adat istiadat dan kondisi sosial masyarakat yang berbeda dengan daerah asal. Semua butuh penyesuaian atau adaptasi yang tidak mudah dari hari ke hari, bulan ke bulan bahkan dari tahun ke tahun.
Di sekolah itu aku adalah satu satunya guru yang beragama Islam, lainya beragama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Akan tetapi aku tetap beribadah menjalankan salat 5 waktu di tempat tinggalku meskipun di lingkungan non muslim yang penuh dengan hal hal yang berbau haram dan najis karena banyak orang memelihara anjing dan babi, tetapi aku berpikir mungkin itu takdirku diawal menjadi guru, suatu saat nanti pasti ada jalan keluar untuk bisa pindah atau mutasi di tempat lain. Aku bersyukur teman-teman guru juga punya toleransi dan pengertian jika waktunya salat mereka terkadang malah mengingatkanku juga. Salah satu kamar di ruang perpustakaan aku jadikan sebagai tempat salat setelah izin bapak kepala sekolah dan beliau mengizinkannya.
Setiap hari Jumat saya diberi jadwal mengajar hanya sampai jam 09.00 setelah itu saya diberi kesempatan untuk berangkat ke kota Waikabubak untuk melaksanakan salat Jumat di Masjid Besar Al Azhar. Jarak dari sekolah ke masjid kurang lebih 30 km, kendaraan umum masih sangat jarang biasanya aku nunggu mobil puskesmas bersama Pak Dokter Luk Luk atau minta bonceng salah satu pegawai puskesmas orang Lombok, Pak Ismet Namanya. Terkadang aku naik truk angkutan penumpang orang kampung yang kental dengan bau sirih pinangnya, kalau tidak naik truk angkutan pasir duduk disebelah sopir, kalau sudah terisi ya duduk naik diatas bak pasir panas-panas yang penting sampai ke Kota Waikabubak sebelum waktu salat Jumat.
Tanah Marapu Sumba Barat adalah masyarakat Sumba yang kental dengan adat istiadat, tradisi budaya Marapu, masih ada orang tidak beragama percaya dan menyembah kepada sesuatu yang diyakini dari leluhurnya. Kampung mereka biasanya di ketinggian tanah atau gundukan tanah yang agak tinggi, rumah-rumah beratapkan ilalang atau seng berjajar di pinggiran kampung dan kandang ternaknya sementara di tengah kampung adalah kubur batu keluarga mereka yang jika meninggal dikubur dalam kotak kotak batu bertutupkan lempengan batu. Nampak seperti meja di atas permukaan tanah. Hewan ternak seperti kerbau, babi biasanya dipotong pada acara pemakaman sekitar 5 sampai belasan ekor, semakin tinggi pangkat dan kedudukan orang yang meninggal semakin banyak pula hewan yang dipotong. Untuk acara pernikahan juga sama menggunakan istilah Belis untuk meminang seorang gadis harus membayar sejumlah hewan puluhan ekor seperti kerbau atau kuda dalam jumlah tertentu yang diminta oleh pihak perempuan atau kesepakatan bersama keluarga kedua belah pihak. Tradisi seperti itu yang membuat seorang laki-laki berat untuk meminang perempuan Sumba apalagi seorang pendatang sepertiku. Itulah kondisi keluarga sebagian besar siswa yang bersekolah tempatku mengajar.
Keadaan gedung sekolah SMP Negeri Walakaka atau sekarang bernama SMP Negeri 1 Lamboya sudah bagus tembok batu kokoh plafon eternit, ruang kelas ada 12 kelas, perpustakaan, ruang lab IPA, sayangnya sebagian besar alat dan bahan di laboratorium belum atau jarang digunakan. Setelah itu saya tata, bersihkan dan sering saya gunakan untuk praktikum IPA. Anak kita bimbing satu persatu dan klasikal dengan harapan menjadi senang dan tahu memakai serta terampil menggunakan beberapa alat dan bahan yang ada.
Selang sekian lama sekolah tempat saya mengajar mendapat proyek SMP terbuka yang tempatnya jauh melewati padang sabana sekitar 40 km dari sekolah induk dan mendapat fasilitas motor dinas SMP terbuka, buku-buku SMP terbuka. Saya bersama kepala sekolah sering berboncengan dengan sepeda motor Suzuki econos kadang datang seminggu sekali ke SMP terbuka tersebut meskipun melewati jalan yang rusak berlubang, becek berlumpur, gunung atau perbukitan di tengah luasnya padang sabana NTT yang panas. Tetapi aku berpikir dan berkeinginan di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung.
Bapak kepala sekolah tidak bisa naik motor sehingga saya yang sering mengantarkan kemana-mana, kebetulan di sekolah tersebut pada waktu itu yang bisa naik motor hanya dua orang guru, makanya selain tugas utama mengajar juga melaksanakan tugas luar ke Kota Waikabubak, ke 2 lokasi SMP terbuka terpencil. Pernah juga mengantar bapak kepala sekolah rapat ke tempat ibadahnya, saya tunggu di luar. Tetapi sebaliknya Ketika perjalanan lewat kota saya mampir salat di masjid beliau juga bersedia menunggu sampai selesai. Ketika lapar sebelum pulang ke desa kami selalu cari makan di warung halal orang jawa, tidak sembarang warung yang dia suka.
Suatu ketika aku menghadiri acara pernikahan atau acara pesta lainnya. Aku selalu diberi kehormatan untuk menyembelih hewan yang akan disuguhkan karena mereka tahu kalau yang memotong bukan orang muslim aku pasti tidak mau memakannya. Dari situ aku jadi punya keberanian untuk menyembelih sapi, kambing, atau ayam. Kalau ada acara keluarga yang dipotong hewan semacam babi, kerbau dan aku diundang, biasanya aku di minta potong ayam dan mereka memasak serta menghidangkannya dirumah terpisah dengan yang daging haram tadi. Kenapa kerbau aku katakan haram, karena mereka orang sumba non muslim yang memotongnya dengan teriakan-teriakan khas mereka menari-nari menebas leher kerbau yang masih berdiri, beberapa tebasan parang yang tajam sampai kerbau jatuh tersungkur. Itulah sepenggal cerita moderasi beragamaku tempo dulu di Tanah Merapu.
Singkat cerita setelah kurang lebih 8 tahun aku bertugas di Sumba Barat NTT, aku mendapatkan kesempatan untuk mengajukan mutasi atau pindah tugas lintas departemen pada waktu itu, dari Depdikbud Sumba Barat NTT ke Depag Kulon Progo atau sekarang menjadi Kementerian Agama Kabupaten Kulon Progo.