ASA TAK BERUJUNG

Rusna Syarifah, S.Pd.

Dialah yang bernama Hadian Dwi Wibowo yang biasa dipanggil Dian. Dian adalah anak kedua dari pasangan Ibu Sumaryati dan Bapak Budi Handoyo. Kedua orang tuanya sangat berharap Dian menjadi Cahaya kedua orang tuanya yang dihormati banyak orang. Tapi seiring waktu berjalan, dalam keadaan yang serba kekurangan ibunya ragu apakah harapannya bisa terwujud dari anak keduanya itu. Disaat dia kelas 5 sekolah dasar kedua orang tuanya bercerai. Dian dan kakaknya yang Bernama Eko harus berpisah dengan bapaknya dan terpaksa tinggal dengan ibunya di rumah Pakdenya.

Dian, Eko dan ibunya tinggal di pusat kota Yogyakarta tepatnya di rumah pakdenya, kakak dari bu Sumaryati dengan kamar yang sempit berukuran 3 x 3 meter. Disana harus berbagi semuanya dengan keluarga pakdenya, 2 sepupu dan budenya. Setelah kurang lebih 1 tahun bapaknya menikah lagi dan menempati rumah mereka, yang tak jauh dari tempat tinggalnya kini. Dalam keadaan yang terbatas, bu Sumaryati berjuang melanjutkan hidup walau tanpa subsidi dari mantan suaminya. Alih – alih ingin merubah nasib, tak berselang lama ibunya juga menikah lagi dengan seorang duda cerai dengan 4 orang anak. Akhirnya dia, kakak dan ibunya pindah ke rumah bapak baru yang bertempat tinggal di desa, tepatnya di daerah Yogya barat. Harapan tinggal harapan, nasib berkata lain bapak tiri dan ibunya bercerai kembali. Yang memaksa keadaan Dian dan Eko harus pindah sekolah. Dari pernikahan kedua ibunya, Dian mempunyai adik Perempuan yang Bernama Saskia Tria Putri yang biasa dipanggil dik Tria.

Setiap kali bu Sumaryati ke Madrasah untuk menyelesaikan kepindahan sekolah Dian ke Yogya kota, selalu dia lakukan dengan menggendong anaknya yang masih berumur 3 tahun. Dengan wajahnya yang layu dan baju seadanya ibunya bicara dengan kepala madrasah untuk menyelesaikan masalah Dian. Karena keadaan ekonomi, untuk masalah keuangan di madrasah akan diselesaikan dengan mencicil. Bu Sumaryati dengan mata berkaca – kaca menceritakan semua kisah hidupnya yang dia alami kira-kira 1 tahun ke belakang. Bagaimana kehidupan dia dan tiga anaknya setelah menikah. Ternyata suami keduanya jauh dari harapannnya. Dulu dia berharap suami keduanya dapat melindungi dari keadaan hidup yang menurutnya kejam. Bisa memenuhi kebutuhan dia dan 3 orang anaknya. Tapi ternyata hanya penyesalan yang ada.

Setelah permasalahan madrasah dianggap sudah selesai Dian harus pindah sekolah di Yogya kota. Jadi dia kembali pulang ke rumah pakdenya lagi, karena sebenarnya rumah itu adalah rumah orang tua Bu Sumaryati yang sudah diwariskan ke Pakdenya Dian. Seperti sebelumnya, ibu Sumaryati dan ketiga anaknya tinggal di kamar yang dulu pernah mereka tinggali. Lagi dan lagi mereka harus berbagi semuanya dengan keluarga pakdenya. Belum lagi dengan budenya Dian yang sering bilang ke Dian, “jadi orang itu mbok ya nggak usah ngrepoti orang lain, sukanya kok ngepoti wae”, kata budenya. Kalau mendengar kalimat itu Dian selalu diam tanpa komentar satu katapun. Karena sudah diberi tahu sama ibunya, “Mas Dian, kalau bude bilang sesuatu yang tidak mengenakkan hati, sudah diam saja, nggak usah di jawab’’,  ungkap ibunya. Dian dengan lesu hanya mengangguk. Setelah pindah ke Yogya Dian sekolah di salah satu SMP swasta demikian juga dengan kakaknya, pindah ke SMA swasta. Di kamar yang sempit bu Sumaryati tinggal dengan ketiga anaknya. Untuk melanjutkan kehidupan, Ibu Dian terpaksa harus kerja keras demi kebutuhan sehari-hari, karena suami pertama maupun suami kedua tidak pernah memberikan uang bulanan untuk belanja anak-anaknya. Padahal di saat proses cerai, mantan suami pertama dan kedua akan menanggung kebutuhan anak-anak setiap bulannya. Tapi hanya sekedar janji semata.

Untuk mencukupi kebutuhan Bu Sumaryati setiap pagi menjual gorengan yang dititipkan ke warung-warung. Sore harinya setelah Dian dan kakaknya pulang sekolah Bu Sumaryati kerja di warung bakmi dekat rumahnya. Sengaja diambil sore hari agar Tria ada yang menjaga. Bu Sumaryati baru pulang kerja sekitar jam 12 malam. Pernah suatu pagi dengan mengendong Tria dengan baju lusuh, bu Sumaryati pergi ke rumah mantan suami yang pertama, dengan maksud minta uang untuk biaya sekolah Dian dan Eko yang sudah menunda lama dengan surat pemberitahuan dari pihak sekolah agar segera membayar. Tapi disana kesedihan yang didapat, dia hanya menemukan istri mantan suami dan berkata, “Budi baru markir di toko depan, cari saja di sana”, ungkap istri pak Budi dengan ketus.

Akhirnya Bu Sumaryati ke toko depan, dan ditemukannya mantan suami. Langsung bu Sumaryati bilang, “eh minta uang 2 jutaan”, tanya Bu Sumaryati. Pak Budi menjawab dengan ketus, “2 jutaan, untuk apa segitu banyaknya?”, tutur Pak Budi dengan wajah kaget campur marah. Setelah itu mantan isterinya menjelaskan, kenapa dia minta uang sebesar itu. Dengan bersungut Pak Budi menjawab, “Ya besok kalau ada uang langsung aku antar di rumah Mas Madi,” jelasnya. Pak Budi biasa memanggil mantan kakak iparnya dengan Mas Madi.

Keadaan Dian di sekolahnya tidak bersemangat mengikuti pelajaran di kelas. Karena baru saja dipanggil wali kelasnya untuk konfirmasi masalah tunggakan keuangan sekolah. Dian merasa beban dan malu sama teman-temannya. Belum lagi masalah biaya hidup yang selalu dikeluhkan sama ibunya. Waktu beranjak sore, jam di dinding menujuk pukul 16.00 wib. Saatnya Bu Sumaryati pergi kerja membantu tetangga berjualan bakmi. Hari berganti hari, setiap pagi sebelum berangkat sekolah Dian dan Eko selalu bertanya sama ibunya. “Bu, sudah punya uangnya belum? Wali kelasku sudah monggal manggil aku untuk bayar?” tanya Dian. Ibunya hanya bilang, “ sabar dik ibu baru ngumpulin, berdoa ya semoga ada bantuan”, jawab Bu Sumaryati. Dengan langkah gontai Dian berjalan ke halte, untuk menunggu bis. Dian memang beda sama kakaknya Eko. Kakaknya tidak begitu sedih dengn keadaan yang ada. Kakaknya tetap semangat dalam menjalani hari, walaupun sebenarnya dia merasa hidupnya keras dan penuh kekurangan. Sebuah panggilan tertuju ke Bu Sumaryati, “Sum kamu kenapa kok beda, kelihatan sedih, badanmu juga mengurus gitu’, tanya Pak Madi. Bu Sumaryati langsung menjawab, “Aku kasian anak-anak mas, Eko dan Dian ditagih uang sekolah, padahal aku hanya punya uang sedikit”, dengan tangannya yang aktif mengusap air mata di wajahnya. “Oo….itu masalahnya, bentar Mar…”, Ujar Pak Madi yang terbiasa memanggil Mar dengan adik perempuannnya itu, dan minta adiknya untuk menunggu.

Tak berapa lama Pak Madi datang dengan membawa uang, “Mar ini aku ada uang sejutaan kamu pakai dulu, tapi kamu nggak usah bilang-bilang sama mbakyumu, kalau dia tahu bisa-bisa berantakan, besok kalau sudah ada uang diganti ya???”, terang pak Madi. Dengan wajah berbinar Bu Sumaryati mejawab, “ iya mas pasti kuganti, matur nuwun”, jawab Bu ibunya Dian. Waktu berjalan merayap, setelah membereskan gorengan andalannya, Bu Sumaryati menidurkan Tria di gendongannya. Dengan wajah ragu dan kaget atas kehadiran mantan suaminya yang pertama, Bu Sumaryati teriak ”Mas Budi?? Uangnya sudah ada”, tanya ibunya Dian dengan penuh harap. “Sudah, tapi cuma tujuh ratusan sisanya kamu ya”, pinta Pak Budi. Dengan wajah kecut mantan isterinya menjawab, “iya…, sisanya nanti tak usaha sendiri, padahal aku sangat berharap kamu memberi aku lebih, untuk menutup hutang-hutangku”, harap Bu Sumaryati. Sambil menyapa mantan ipar, Pak Budi membunyikan motor dan langsung pergi. Sore hari tiba, pulanglah Dian dan kakaknya. Seperti biasa Dian menjaga adiknya sedangkan Eko beberapa hari ini sepulang sekolah, setelah makan seadanya langsung kerja jadi pencuci piring di salah satu warung padang dekat rumahnya. Tak terasa malam sudah tiba, jam dinding kir-kira menunjukkan pukul 10.00 wib. Dian sedang menidurkan Tria di Kasur busa seadanya. Karena area padat penduduk dari kamar Dian sayup-sayup mendengar lantunan lagu dengan judul ‘Keluarga Cemara’.

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

 

 Selamat pagi Emak

Selamat pagi Abah

Mentari hari ini berseri indah

 

Terima kasih Emak

Terima kasih Abah

Untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti

 

Agil sama Ara! Teteh mau jualan opak dulu ya

Ya Teh

Jangan lupa bilang sama Abah ya!

Ya Teh

Ya

Mau permen

Permen permen apa?

Permen apa aja

A Teteh berangkat dulu ya

Ya Teh

 

Harta yang paling berharga adalah keluarga

Istana yang paling indah adalah keluarga

Puisi yang paling bermakna adalah keluarga

Mutiara tiada tara adalah keluarga

 

Selamat pagi Emak

Selamat pagi Abah

Mentari hari ini berseri indah

 

Terima kasih Emak

Terima kasih Abah

Untuk tampil perkasa bagi kami putra putri yang siap berbakti

Dalam hatinya dia bicara, “apakah bisa keluargaku seperti lagu itu”? tanya Dian dalam hati. Terucap lirih dari mulut tipisnya,“Ya Allah berikanlah kesehatan dan kekuatan untuk ibuku, agar dia bisa memanduku, mas Eko dan dik Tria untuk meniti masa depan, semoga kami selalu bahagia, bisa sekolah sampai lulus dan bekerja, agar ibu tak capek- capek lagi”. Harap Dian dalam doanya. Dengan mata terpejam, angan yang tak terucap diakhirinya dengan, “aamiin ya robalalamin”.

Bagikan ke...

Lihat juga

Terima Kasih, Kamu Media Belajarku

Fitri Astuti, S.Pd. Aku adalah seorang pengajar di salah satu madrasah di Kulon Progo. Suatu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *