Marfidah, S.S.
Gelap, tak ada cahaya berkilauan. Bulan enggan bersinar malam ini, ia tengah menyepi meratapi nasibnya, sedang bintang tengah gelisah, menyelinap di bawah awan. Hanya gelap, satu lampu pun tak ada yang menghiasi jalanan sempit itu. Sepi. Hanya ada suara daun berserakan terkena angin malam yang dingin. Tak ada apa-apa. Kadang jangkrik ingin melepas sepi itu sejenak. Kodok, ah dia lelah, hari ini terlalu sulit mencari makan. Malam ini gelap, ia hanya selalu bersama teman baiknya, sepi.
Aku menginjakkan kakiku di tanah baru. Tanah perantauan pertamaku. Dari Yogyakarta aku terbang hingga sampai daerah baru yang belum pernah aku tahu. Kota Bangun Ulu, Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur berjarak ribuan km dari ayah dan ibuku. Aku sendirian di tanah Kutai berdampingan dengan Sungai Mahakam, merasakan nikmatnya antri air, tidur di lantai kayu dan dinding kayu. Meski belum sebagai PNS kala itu,aku merasa memiliki tantangan yang besar. Tantangan mengajar di SMP dan MAN kala itu. Mengajar anak-anak Kutai untuk membiasakan diri berbahasa Indonesia.
Tahun 2023 awal hidupku menjadi guru di tanah yang baru kukenal, penuh tantangan dari dalam dan luar. Mencari-cari sekolah, menawarkan diri untuk menjadi pengajar menjanjikan sekolah akan menghasilkan sebuah karya. Kubuat sebuah proyek dengan konsep sederhana yang aku mampu, Paklek (Peduli Aksara Lewat Karya). Proyek itu aku tawarkan ke sekolah-sekolah yang bisa aku jangkau dengan jalan kaki.
Aku tinggal sendirian di kosan,tapi Tuhan mengirimiku banyak saudara baru yang begitu peduli padaku. Satu, dua orang membantuku agar aku bisa bertemu dengan Kepala Sekolah/Kepala Madrasah yang bisa kujangkau. Tiga sekolah akhirnya menerimaku.Aku mengajar di SMP N 1 Kota Bangun, SMA N 1 Kota Bangun, dan MAN 1 Kutai Kartanegara. Bertemu anak-anak adalah hal yang membahagiakan bagiku. Terkadang saat ke sekolah ada saja yang melihatku aneh dan memandang sebelah mata. Mungkin mereka belum yakin dengan gadis muda baru yang baru lulus kuliah kemudian menyodorkan program aneh ke sekolah-sekolah tersebut. Meskipun tanpa ada biaya dari sekolah, tetapi tidak semua sekolah mau menerimaku kala itu.
Ceritaku dimulai saat aku mulai mengajar di MAN 1 Kutai Kartanegara. Jadwalku mengajar di MAN 1 Kutai Kartanegara selang-seling dengan di SMP N 1 Kota Bangun. Tiap hari Sabtu, aku juga diminta mengajar teater di SMA N 1 Kota Bangun. Beberapa sekolah itu memiliki kesan-kesan masing-masing dalam hidupku. Meskipun semuanya berkesan, yang akan aku ceritakan adalah cerita mengajarku di MAN 1 Kutai Kartanegara. Di sana, aku bertemu dengan anak-anak MAN yang belum terbiasa berbahasa Indonesia. Aku selalu merasa senang dan terharu ketika mengingat mereka semua.
Aku mengajar anak-anak yang tiap hari harus naik kapal menyeberang Sungai Mahakam untuk sampai di sekolahnya. Salah satu siswaku bernama Dewi. Dewi anak yang manis dan penuh kesungguhan. Dia berasal dari Semayang, harus naik kapal beberapa saat untuk sampai sekolah. Suatu kali saat aku mengajar di kelasnya, Dewi bercerita kepadaku tentang keluarganya. Ia bercerita tentang ibunya yang sedang sakit. Aku mendengarkan ceritanya, sering bertemu dengannya meski di luar jam sekolah. Darinya aku belajar banyak hal. Aku bahkan mengunjungi rumah kayunya untuk bertemu keluarganya. Di rumah Dewi aku menemukan arti dari manisnya kehidupan perantauan. Manisnya kue amparan tatak, makan ikan salai, gence ruan (ikan haruan yang dibumbui) dengan sayur santan labu di rumah Dewi adalah kemanisan hidup yang baru aku temui di Kalimantan.
Akhirnya, keluarga Dewi menjadi keluargaku juga. Ayah Dewi bekerja sebagai koki di pertambangan sedangkan ibunya menderita sakit kanker. Sebagai guru, aku justru belajar dari keluarga mereka yang selalu saling mendukung dan menopang. Aku mendaftarkan Dewi mengikuti lomba pidato, awalnya Dewi menolak, tetapi karena terlanjur kudaftarkan ia mulai coba berlatih. Ia gagal di lomba pertamanya, tapi ia tidak menyerah. Ia malah semakin bersemangat. Ia memintaku untuk mencarikan berbagai lomba pidato lainnya. Kali kedua Dewi ikut lomba masih gagal. Aku sebenarnya khawatir ia sudah enggan lagi dan tak mau berlatih lagi. Benar saja, Dewi menyerah di lomba pidato keduanya.
Aku mendekatinya, berbicara dari hati padanya. “Dewi, memang semua tidak seperti teori-teori dalam buku bahwa ketika gagal sekali akan langsung berhasil,” kataku pelan-pelan padanya. Dewi masih murung, “ Au kak tapi rasanya aku lah nade kehe lagi” jawabnya putus asa dengan bahasa Kutai sambil ia memelukku. Aku berusaha menenangkan Dewi sebisa yang kumampu. “Dewi amparan tatak adalah kue yang dibuat penuh proses, dari tepung, gula, dimasak dengan api panas hingga akhirnya menjadi kue manis kesukaanmu, semua butuh proses Dewi,” kataku sambil memeluknya. Aku dan Dewi sama-sama menggemari kue amparan tatak. Akhirnya Dewi mau mencoba lagi hingga beberapa kali. Ahirnya, ada lomba pidato di Samarinda kala itu, seingatku itu adalah lomba ke-lima yang ia ikuti. Butuh waktu 6 jam dari rumah Dewi menuju Samarinda.
Aku mengantar Dewi menuju Samarinda. Kami naik bus dan menyeberang sungai bersama. Di jalan, aku berpesan padanya apapun hasilnya tidak perlu terlalu khawatir. “Bagi Kak Fida, kamu sudah juara Dewi, karena kamu telah mengalahkan ketakutanmu dan kekhawatiranmu akan kekalahan.” kataku pada Dewi berusaha menguatkannya. Dewi mengangguk, aku melihat ia bertumbuh dan belajar dengan kekalahannya sebelumnya. Ia tersenyum tumbuh menjadi anak yang kuat dalam menghadapi hidupnya. “Kak, aku cerita sama ibuk kalau aku ikut lomba pidato, ibu senang sekali Kak, kata ibu aku harus terus semangat agar aku bisa sukses” Kata Dewi penuh semangat.
Bagiku, anak seumuran Dewi telah banyak berproses. Aku melihat Dewi berpidato di atas panggung. Suaranya makin berirama, mimik mukanya makin matang penuh ekspresi. Aku berusaha mengenalkannya bahwa ada banyak siswa seumuranya yang mampu berpidato dengan berbagai gaya dan ekspresi. Nilai lebih dari Dewi adalah, meski berpidato ia bercerita dalam pidatonya, ia berdialog yang tidak membutuhkan jawaban. Hasil lomba pun keluar, Dewi juara 2. Ia naik panggung dan menerima piala pertamanya setelah sebelumnya selalu gagal.
Perjalanan ke Samarinda bersama Dewi aku ceritakan pada siswa-siswaku di MAN 1 Kutai Kartanegara. Fokusku mengajar di MAN 1 Kutai Kartanegara adalah menerbitkan buku hasil karya mereka. Aku ajak mereka sekelas ke pinggir Sungai Mahakam untuk menulis sambil melihat kapal pengangkut batubara, mengajak mereka ke bukit yang penuh ilalang untuk menulis di sana, mengajak anak-anak ke pekarangan salah satu siswa yang tiap hari menggembala sapi-sapinya (di Kota Bangun orang memelihara sapi tanpa kandang jadi tiap hari sapi harus dibawa ke padang rumput). Aku sering bertemu dengan anak-anak tiap sore di hari libur. Tulisan demi tulisan mereka kukumpulkan. Dewi juga selalu kuminta menuliskan berbagai kisahnya.
Di kelas, aku juga minta mereka untuk menuliskan tentang keluarganya, tentang kehidupan mereka yang bagiku unik. Aku meminta mereka menulis di kertas. Semua tulisan mereka mulai dari satu tema ke tema lain mulai terkumpul. Tumpukan kertas mulai tebal. Selanjutnya aku menyalin tulisan mereka satu demi satu kuketik dan kuterbitkan. Kuberi judul “Pejuang Asa” untuk buku kumpulan karya mereka. Buku itu telah terbit, aku bahagia mengenal mereka. Anak-anak penuh perjuangan yang menganggapku guru bagi mereka. Program Paklek menghasilkan 2 buku karya siswa di SMP N 1 Kota Bangun dan MAN Kota Bangun. Aku masih melanjutkannya di MTsN 5 Sleman, dan kini aku memulai di MTsN 3 Kulon Progo.
Saat ini, beberapa siswaku di Kalimantan sudah ada yang menjadi guru bahkan menjadi dosen. Belum lama ini ada yang mengirimiku sebuah pesan.
Bu, kini Dewi menjadi guru Bahasa Indonesia.
Aku ingin menjadi guru karena ibu telah hadir di hidupku.
Aku ingin semanis kue amparan tatak seperti yang kita suka.
Manis dan disukai banyak orang meski prosesku sangat panjang.
Hatiku penuh saat membacanya. Hal yang membuatku bahagia ketika menjadi guru adalah saat ada yang menerimaku dengan kebahagiaan. Seperti seseorang yang berbahagia setelah makan amparan tatak.